by kaha51 | Dec 5, 2018 | Liputan Media, Media Nasional, Media online
Jakarta – Berbagai konsekuensi perubahan iklim bagi pertanian seperti naiknya suhu minimum di malam hari, keragaman pola pergantian musim dan kemungkinan terjadinya peristiwa iklim ekstrim, membuat petani tidak lagi dapat menggantungkan diri hanya pada pengetahuan tradisional dan pengetahuan empiris. Universitas Indonesia meluncurkan situs “Warung Ilmiah Lapangan” (Science Field Shops) dan Sistem Informasi Data Agrometeorologi Petani, Selasa (4/12).
Menanggapi hal itu, suatu inovasi dalam pembelajaran petani menghadapi konsekuensi perubahan iklim telah diperkenalkan sejak tahun 2008 di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, pada tahun 2009 di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, pada tahun 2014 di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, serta tahun 2018 di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Dalam kurun waktu satu dasawarsa itu, antropolog dari Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fisip Universitas Indonesia menjalin kerja sama melalui pendekatan lintas-disiplin dengan pakar agrometeorologi, dan trans-disiplin dengan petani dalam menumbuhkembangkan program pembelajaran agrometeorologi dalam arena Warung Ilmiah Lapangan (WIL).
Metode belajar secara berkesinambungan dengan petani sebagai peneliti dalam komunikasi secara dialogis dengan akademisi dan berbagai pihak merupakan pendekatan utama yang ditatamantapkan secara bersama oleh kedua pihak: petani dan ilmuwan.
Terdapat tujuh jasa layanan iklim (seven climate services) yang diperkenalkan dan dikembangkan dalam arena belajar itu, yakni: 1) mengukur curah hujan setiap hari; 2) mengamati dan mendokumentasikan kondisi agroekosistem lahan pertanian; 3) mengevaluasi hasil panen; 4) mengelola kegiatan WIL oleh petani sendiri; 5) menyebarluaskan skenario musiman untuk tiga bulan ke depan yang diperbaharui setiap bulan; 6) menyajikan pengetahuan baru yang dibutuhkan petani sesuai dengan kondisi di lahannya; dan 7) melaksanakan eksperimen “sama-sama menang” (win-win solution) di lahan petani.
Berbagai aktivitas petani dalam melaksanakan ketujuh jasa layanan iklim itu telah didokumentasikan melalui beragam kegiatan dan media, baik oleh ilmuwan maupun petani sendiri. Data curah hujan dan agroekosistem yang dihimpun petani—yang tergabung dalam Asosiasi Pengukur Curah Hujan—dalam kurun waktu beberapa tahun merupakan “harta kekayaan tidak ternilai” bagi petani.
Melalui pengamatan yang lebih rinci, cermat, berkesinambungan, dan tercatat, petani mengembangkan kemampuan analisis, antisipasi, dan pengambilan keputusan tentang strategi budi daya tanaman yang lebih jitu dan tanggap dalam menghadapi kondisi iklim tertentu.
Petani pengukur curah hujan menganggap, dokumentasi yang dicatatnya dalam “buku” merupakan sumber pengetahuan yang amat bermakna sebagai sumber rujukan bagi pengembangan kegiatan bercocok tanam yang lebih tangguh. Terutama, dalam situasi semakin tidak menentu dan tidak dapat diduganya konsekuensi perubahan iklim bagi kegiatan pertanian yang dipengaruhi oleh kondisi El Niño Southern Oscillation (ENSO).
Sepatutnyalah bila himpunan catatan dan pengalaman petani itu didokumentasikan secara seksama, tersistematisasi, dan sekaligus dapat menginspirasi berjuta-juta petani di Indonesia, akademisi, praktisi, berbagai pihak, dan warga masyarakat luas.
Untuk itu, situs Warung Ilmiah Lapangan (Science Field Shops—http://wil.ui.ac.id) dan Sistem Informasi Data Agrometeorologi Petani (aplikasi omplong) telah disiapkan oleh Tim Warung Ilmiah Lapangan Universitas Indonesia bekerja sama dengan kantor Direktorat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Indonesia yang menyajikan beragam kegiatan petani, termasuk aplikasi data curah hujan dan agroekosistem yang memungkinkan petani mengunggah dan mengunduh data yang dihimpunnya sendiri.
Data-data petani dan hasil olahannya tersebut dapat menjadi rujukan bagi petani bersangkutan dalam menentukan strategi antisipasi cocok tanam yang jitu di tengah ketidakteraturan datangnya musim hujan, ancaman peristiwa iklim ekstrim (banjir, kekeringan, angin puting beliung, dan lain-lain) dan kemungkinan serangan hama.
Petani pengukur curah hujan dan akademisi Universitas Indonesia berharap agar Website dan Aplikasi itu dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Situs web dan sistem informasi data WIL yang dikembangkan oleh Universitas Indonesia adalah sarana berbagi hasil pembelajaran inter dan trans disiplin sebagai bentuk pelaksanaan tridharma perguruan tinggi civitas akademik UI dalam menanggapi persoalan yang dihadapi oleh khalayak luas khususnya para petani Indonesia.
by kaha51 | Oct 16, 2017 | Liputan Media, Media Nasional, Media online
Liputan6.com, Indramayu – Hujan yang mengguyur Kabupaten Indramayu dalam dua pekan terakhir dianggap belum menjadi keberuntungan bagi petani di Pantura, Jawa Barat. Bahkan, hujan tersebut bisa berisiko mendatangkan kekeringan dan serangan hama pada tanaman padi.
Salah seorang anggota Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu, Abas Kartam mengatakan para petani di Kabupaten Indramayu diminta untuk tidak terkecoh dengan hujan tipuan.
Hujan tipuan adalah hujan yang terjadi saat awal masuk musim hujan. Berdasarkan kategori klimatologisnya, akumulasi hujan tipuan selama satu dasarian (10 hari) masih kurang dari 50 milimeter.
Dia mengatakan, hujan yang mengguyur Indramayu dalam dua pekan terakhir tersebut belum menunjukkan sudah dimulainya musim hujan di Kabupaten Indramayu.
“Jadi saat ini petani jangan langsung tanam dulu, nanti kering lagi,” tutur pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Koperasi Malai Padi Indramayu, Minggu, 15 Oktober 2017.
Abas menyatakan, masa tanam sebaiknya dilakukan saat masuk musim hujan. Yakni, saat hujan turun dengan intensitas 50 milimeter, yang kemudian diteruskan dalam satu bulan dengan intensitas 150 milimeter.
Sementara itu, untuk mengukur intensitas hujan, Abas menyebut bisa dilakukan sendiri oleh para petani. Pasalnya, alat pengukuran yang digunakan cukup sederhana.
Selama ini, dia juga terus melatih para petani mengenai cara pengukuran intensitas hujan tersebut. Selain menyangkut ketersediaan air, pengukuran curah hujan juga menyangkut kesiapan tanaman padi dalam menghadapi serangan hama.
“Misalnya untuk kondisi cuaca saat ini yang sudah mulai turun hujan, namun cuaca masih panas di siang hari, maka akan membuat hama wereng mudah berkembang biak,” kata Abas.
Jika penanaman dilakukan saat ini, lanjut dia, tanaman padi berisiko kekurangan air dan terserang hama wereng. Maka itu, dia mengimbau agar petani menunda musim tanam hingga benar-benar masuk musim hujan.
Terpisah, prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Ahmad Faa Izyn mengatakan, awal musim hujan di Kabupaten Indramayu, diperkirakan terjadi pada akhir Oktober hingga awal November 2017.
“Para petani lebih bagus memulai musim tanamnya saat sudah masuk awal musim penghujan,” ujar dia.
by kaha51 | Oct 16, 2017 | Liputan Media, Media Nasional, Media online
REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU — Para petani di Kabupaten Indramayu diminta untuk tidak terkecoh dengan hujan tipuan. Pasalnya, hujan tersebut bisa berisiko pada kekeringan dan serangan hama pada tanaman padi.
Salah seorang anggota Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu, Abas Kartam, mengakui, sejak dua pekan terakhir, wilayah Kabupaten Indramayu beberapa kali diguyur hujan. Namun, dia menilai hujan tersebut belum menunjukkan sudah dimulainya musim hujan di Kabupaten Indramayu.
“Saat ini belum memasuki musim hujan. Hujan beberapa hari ini merupakan hujan tipuan,” kata Abas, saat ditemui di sela Workshop False Rain di Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, belum lama ini.
Hujan tipuan adalah hujan yang terjadi pada saat awal masuk musim hujan. Namun, berdasarkan kategori klimatologisnya, akumulasi hujan tipuan selama satu dasarian (10 hari) masih kurang dari 50 milimeter.
“Jadi saat ini petani jangan langsung tanam dulu, nanti kering lagi,” tutur pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Koperasi Malai Padi Indramayu itu.
Abas menyatakan, masa tanam sebaiknya dilakukan saat masuk musim hujan. Yakni saat hujan turun dengan intensitas 50 milimeter, yang kemudian diteruskan dalam satu bulan dengan intensitas 150 milimeter. Menurutnya, saat itulah baru masuk musim hujan dan cukup untuk memulai musim tanam.
Untuk mengukur intensitas hujan itu, Abas menyatakan, para petani bisa melakukannya sendiri. Bahkan, alat yang digunakan pun cukup sederhana. Selama ini dia juga terus memberikan pelatihan kepada para petani mengenai cara pengukuran intensitas hujan tersebut.
Selain menyangkut ketersediaan air, lanjut Abas, pengukuran curah hujan juga menyangkut kesiapan tanaman padi dalam menghadapi serangan hama. Seperti misalnya untuk kondisi cuaca saat ini yang sudah mulai turun hujan namun cuaca masih panas di siang hari, maka akan membuat hama wereng mudah berkembang biak.
Itu berarti, jika penanaman dilakukan saat ini, maka tanaman padi berisiko kekurangan air dan terserang hama wereng. Karenanya, petani diimbau menunda musim tanam hingga masuknya musim hujan.
Dalam kesempatan terpisah, Forecaster Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Ahmad Faa Izyn menjelaskan, saat ini di Wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan) masih masa pancaroba atau peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan. Untuk awal musim hujan, khusus Kabupaten Indramayu, diprakirakan akan terjadi pada akhir Oktober hingga awal November.
“Para petani lebih bagus memulai musim tanamnya saat sudah masuk awal musim penghujan,” tandas pria yang akrab disapa Faiz itu.
Source: https://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/13/06/22/nasional/daerah/17/10/16/oxw7mj359-petani-diminta-waspadai-hujan-tipuan
by kaha51 | Jul 25, 2016 | Liputan Media, Media Nasional, Media online
Sumber: mongabay.co.id – 23 Juli 2016
Setiap pagi Ahmad Sopian, menuju sawah di Desa Pandan Wangi, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur. Beberapa peralatan dia bawa, seperti cangkul. Namun ada beberapa peralatan tak biasa dibawa ke sawah. Ada penggaris, buku catatan, pulpen dan bambu seperti lidi sepanjang satu jengkal orang dewasa.
Langkahnya tergesa menuju tabung alumunium berukuran diameter 12×22 cm, warga sekitar menyebut ini centong. Bambu dimasukkan ke centong. Sehari sebelumnya tak hujan hingga centong kering kerontang.
“Kemarin tak ada hujan. Berarti curah hujan nol. Saya tulis di buku ini dengan tanda setrip,” kata Ahmad seraya menggores pena dalam buku cacatan, Selasa (19/7/16).
Jika hujan turun dan tabung berisi air, dia akan mengukur bambu terbasahi penggaris. Ukuran dalam satuan millimeter. Ini kegiatan rutin.
Dalam satu hektar, setidaknya dua centong pengukur curah hujan. Ia tersebar di beberapa zona yang disepakati. Ada zona utara, timur, selatan. Posisi centong di tengah sawah atau kebun. Harus dipastikan tak ada penghalang apapun baik pohon atau bangunan lain. Tujuannya, agar air hujan masuk centong. Ia dipasang menempel pada kayu berukuran satu meter. Centongdibiarkan selama 24 jam guna menampung curah hujan. Kala pengukuran selesai, tiap hari air centong dikeluarkan, dan ke posisi semula.
Mengukur centong Ahmad beserta puluhan petani lain di desa itu ternyata buat prediksi cuaca. Mereka bisa tahu, tanaman apa cocok ditanam. Sebelum Kelompok Pengukur Curah Hujan (KPCH) terbentuk, para petani terbiasa menanam tanpa mempertimbangkan cuaca. Alhasil, berkali-kali mereka gagal panen.
KPCH dibentuk atas bantuan Pusat Kajian Antropologi (Puska) FISIP Universitas Indonesia dan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF). Pendanaan ICCTF ini Rp1 miliar dengan durasi 24 bulan. Selain di Lombok Timur, juga di Kabupaten Indramayu, Sumedang dan Bekasi.
“Di sini semua petani menanam tembakau. Sebelumnya, hujan terus menerus, banyak petani tembakau gagal panen. Dengan perkiraan skenario cuaca melalui penghitungan curah hujan, kami mulai beralih menanam tanaman lain,” katanya.
Seperti yang Ahmad lakukan. Lahan 350 meter persegi, tak semua ditanami tembakau. Setengah lahan, menjadi sawah padi hingga potensi gagal panen bisa ditekan.
Dengan mempertimbangkan data hasil perhitungan curah hujan itu pula, di lahan tembakau kini dibuat beberapa saluran irigasi genangan air yang bisa membanjiri kebun.
“Sebelum bergabung KPCH, saya tak tahu ini. Sekarang, gakgagal panen lagi,” katanya.
Serupa dialami Zulkarnain (32). Setelah bergabung dengan KPCH 2015, dia merasa tak khawatir gagal panen. Kini, dia bersama petani lain bisa mengantisipasi hujan.
Sebelumnya, petani diberikan pelatihan oleh Puska UI hingga bisa membuat strategi bertani dengan skenario cuaca bulanan berdasarkan hasil pengamatan curah hujan harian. Biasanya, petani di Lombok Timur, menanam padi awal tahun untuk panen April. Pada Mei, mereka biasa lanjut menanam tembakau dan panen September, sebelum musim penghujan. Perubahan iklim makin terasa berdampak pada cuaca tak menentu. Musim hujan datang lebih awal. Bahkan BMKG memprediksi hujan turun pada Juli.
“Dari hasil perhitungan, kita bisa membuat stretegi tanam. Misal, bulan ini jangan 100% tanam tembakau. Jadi setengah tanam padi.”
Tanaman lain bisa melon, kembang kol, jagung dan lain-lain. Di Desa Pandan Wangi, anggota KPCH ada 23 orang. Mereka bertanggungjawab mengukur curah hujan harian. Meski begitu, bukan berarti informasi hanya milik anggota KPCH. Informasi didapat dari olah data, juga disebarkan kepada petani lain.
Dari lahan satu hektar milik Zulkarnain, dia bisa mendapatkan keuntungan Rp25-Rp30 juta per musim. Dia merasa tak lagi gagal panen karena memperhatikan skenario bulanan.
Baik Mariana, petani lain mengatakan, dengan tergabung KPCH dia bisa mengubah pola pikir orangtuanya. Dulu orangtua bersikeras hanya menanam tembakau. Sekarang, mau menanam jagung setelah diberitahu prediksi cuaca.
“Data curah hujan semua dikumpulkan. Saya yang buat laporan per zona. Ada zona utara, timur, selatan. Semua dikumpulkan kemudian kita kirim ke Bu Yunita dari Puska UI. Nanti dari sana ada skenario musiman.” Informasi lalu mereka teruskan ke semua koordinator. Ada pertemuan rutin menjelaskan perkiraan cuaca. Di KPCH, katanya, ada pertemuan bulanan setelah mengamati curah hujan. “Tiap bulan kita evaluasi, Bu Yunita juga sering datang,” ujar dia.
Mariana juga bekerja di Unit Penyuluhan Pertanian. Dia , juga membuat penghitungan curah hujan. Data kombinasi antara BMKG dan KPCH.
Guru Besar Antropologi FISIP UI Yunita T. Winarto sebagai penggagas KPCH mengatakan, KPCH di Lombok Timur, sudah berjalan baik. Respons petani menggembirakan. Dia terkesan dengan banyak generasi muda mau menjadi petani dan siap siaga menghadapi perubahan iklim. Dia berharap, lewat KPCH bisa mengurangi dampak perubahan iklim yang kian hari makin dirasakan petani.
“Dalam dua tahun sejak 2014 pertama dibentuk, sudah ada sembilan KPCH di tiga kecamatan di Lombok Timur. Tiga di Kecamatan Keruak, tiga di Sakra dan dua di Jerowaru,” katanya.
Kerjasama antar stakeholder yang melibatkan petani, ilmuan, penyuluh pertanian dan pemerintah daerah seperti ini, katanya, sangat baik. Menurut dua, di Lombok Timur, lebih mudah mengorganisasi petani dibandingkan daerah lain.
Yunita mengatakan, KPCH merupakan implementasi program Warung Ilmiah Lapangan (WIL) yang digagas Puska UI. Ia pembelajaran agrometeorologi langsung di lapangan. Semua pihak terlibat aktif.
Petani jadi pembelajar aktif memantau curah hujan harian dan agroekosistem. Lewat bantuan ICCTF, ini implementasi di Lombok Timur dan daerah lain.
Selama ini, katanya, petani kesulitan memahami ramalan cuaca dari BMKG. Keterbatasan pengetahuan menjadi penyebab mereka sukar mencerna istilah ramalan cuaca BMKG. Lewat KPCH, semua dibuat sederhana dan mudah dipahami. Ke depan, petani diarahkan bisa memahami kondisi lahan, dan asupan pupuk untuk memaksimalkan hasil tani.
Anggota Wali Amanat ICCTF Jatna Supriatna mengatakan, KPCH sangat membantu petani terutama menghitung kapan waktu tepat mulai bertani dan menentukan jenis tanaman cocok dengan kondisi cuaca.
“Bagaimana petani bisa menghitung dan mempredisksi kira-kira enam bulan ini bisa nyawah atau nggak? Kita harus betul-betul paham. Tahu kapan harus nyawah, kapan nandur dan manen.”
Syamsidar Thamrin, Kasubdit Iklim dan Cuaca Kementerian PPN/Bappenas mengatakan, dari 380 proposal kegiatan penanggulangan perubahan iklim, hanya 19 disetujui ICCTF. Salah satu, KPCH.
“Karenapendekatan cukup unik, dari manusia sendiri. Bapak-bapaknya sangat responsif dan ingin belajar. Kita sangat mengapresiasi program ini.”
Idham, Camat Keruak mengapresiasi pembentukan KPCH dan sangat membantu petani mengantisipasi dampak perubahan iklim. “Dengan KPCH petani bisa banyak belajar.”
Baru-baru ini, katanya, banyak petani Keruak kekurangan air hingga gagal panen. Meski bantuan mesin penyedot air ada, namun, 20% lahan pertanian Keruak gagal panen. “Kami berharap program ini terus berjalan.”
Sumber: http://www.mongabay.co.id/2016/07/23/hadapi-perubahan-iklim-petani-lombok-prediksi-cuaca-dengan-ukur-curah-hujan/
by kaha51 | Jul 21, 2016 | Liputan Media, Media Nasional, Media online
Jakarta, CNN Indonesia — Maskandar ingat kekecewaannya saat gagal panen dua tahun lalu. Dirinya tak mendapatkan untung saat itu, padahal menjadi petani adalah satu-satunya pekerjaan. Maskandar adalah petani tembakau asal Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Salah satu sebab adalah tak bisa diandalkannya lagi metode Wariga atau pengetahuan tradisional soal astronomi, untuk memprediksi cuaca.
Wariga merupakan cara tradisional masyarakat Lombok dalam memprediksi cuaca dan iklim yang berdasarkan pada kejadian alam. Salah satu penanda adalah ketika posisi matahari tepat berada di atas Pulau NTB pada pertengahan bulan Oktober setiap tahunnya. Cara ini menjadi pengingat kapan petani harus menanam dan memanen.
“Cara ini lama-lama tidak akurat karena cuaca sekarang sulit diprediksi,” ujar Maskandar.
Hingga awal 2015, Maskandar mulai mengenal alat pengukur curah hujan bernama ‘centong’. Ini bukan macam sendok besar untuk mengambil nasi. Alat sederhana itu berbentuk wadah dari tabung aluminium, menyerupai ember.
Centong dipasang pada kayu setinggi satu meter untuk menampung curah hujan. Dari curah hujan inilah, Maskandar membuat skenario cuaca untuk menentukan masa tanam dan masa panen.
Alat tersebut kemudian dipasang di tengah sawah. Posisinya tak boleh terlalu dekat dengan pohon atau benda tinggi lainnya. Hal ini untuk memastikan tak ada serat atau unsur lain yang masuk ke dalam tabung aluminium tersebut.
Selama seharian, centong akan dibiarkan menampung banyaknya air ketika hujan turun.
Keesokan harinya, barulah Maskandar mengukur curah hujan yang tertampung di centong. Ukuran itu kemudian dicatat dan dianalisis untuk mengetahui kondisi cuaca yang akan terjadi selama dua hingga tiga bulan ke depan.
Cara ini rupanya cukup efektif bagi Maskandar dan petani lainnya yang ada di Kecamatan Jerowaru. Dia tak perlu lagi kesulitan menentukan masa tanam dan masa panen tembakaunya. Sementara saat musim hujan, Maskandar bisa beralih menanam padi dan jagung.
“Sebelum mengukur curah hujan, cara kami masih ngawur. Tapi setelah mengukur, kami jadi tahu kondisi tanahnya dan cuaca seperti apa yang cocok untuk menanam,” kata Maskandar.
Kondisi tanah milik petani yang satu dengan lainnya pun tak sama. Beruntung, kondisi tanah milik Maskandar termasuk kualitas I yang mudah untuk ditanami. Sedangkan petani lainnya memiliki jenis tanah kualitas II atau kualitas III dengan kondisi kering dan berbatu. Kondisi ini, menurutnya, akan menentukan kualitas tanaman dan hasil panen.
Dalam sekali panen tembakau milik Maskandar, hasilnya bisa mencapai 20 ton per hektar. Tembakau ini kemudian dibakar dalam oven besar yang berbentuk seperti rumah dalam waktu satu minggu. Tembakau yang sudah kering ini kemudian dijual ke perusahaan rokok tak jauh dari lokasi tanam.
Maskandar bersama petani lainnya kemudian tergabung dalam Klub Pengukur Curah Hujan (KPCH) Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur. Mereka bertemu satu bulan sekali untuk mengevaluasi hasil pengukuran curah hujan dari tiap lahan yang dimiliki.
Mengantisipasi Kerugian
Soal klub tersebut, ada penggagasnya. Adalah Profesor Yunita T Winarto dari Pusat Kajian (Puska) Antropologi FISIP Universitas Indonesia yang membentuk klub tersebut. Pembentukan KPCH ini merupakan bagian program Warung Ilmiah Lapangan (WIL) dari Puska UI melalui dukungan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF).
ICCTF adalah satuan kerja di bawah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas yang bertugas mengelola dana untuk penanggulangan perubahan iklim di Indonesia. Organ itu menggelontorkan dana sekitar Rp1 miliar untuk program pengukur curah hujan di Kabupaten Indramayu, termasuk Lombok Timur sejak April 2016 hingga Maret 2018.
Sampai saat ini, lanjut Yunita, telah ada sembilan klub yang terbagi di tiga kecamatan di Lombok Timur, masing-masing dua klub di Kecamatan Jerowaru, tiga klub di Kecamatan Sakra, dan empat klub di Kecamatan Keruak.
Yunita sengaja mengenalkan metode pengukuran curah hujan untuk mengantisipasi kerugian petani akibat gagal panen yang salah satunya disebabkan kondisi perubahan iklim.
Hal ini tentu lebih memudahkan bagi petani ketimbang harus memahami ramalan cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Sebab keterbatasan pengetahuan para petani membuat mereka sulit memahami istilah dari BMKG.
“Kalau mereka memahami curah hujan tertentu maka mereka tahu kondisi seperti apa yang cocok untuk menanam tembakau atau tanaman lain,” ucapnya.
Dia menuturkan peranan dirinya sebagai peneliti adalah membantu para petani menganalisis hasil pengukuran curah hujan. Dari hasil tersebut, sambungnya, petani juga diminta untuk mengaitkan dengan kondisi lahan, tanah, dan asupan pupuk yang dibutuhkan.
Yunita mengakui adanya sejumlah kendala yang ditemui selama mengenalkan metode itu pada petani. Pasalnya, para petani selama ini telah terbiasa mengikuti pola tradisional dengan sistem Wariga.
Namun dia tak menampik pengetahuan tradisional pun dapat digunakan untuk mengetahui kondisi cuaca di suatu daerah. Salah satunya, binatang tonggeret. Jenis serangga yang mengeluarkan suara nyaring ini mestinya muncul di awal musim kemarau. Namun pada November tahun lalu, serangga ini telah muncul.
“November itu kan mestinya musim hujan, tapi karena instingnya saat itu masih kemarau ya serangga ini muncul,” katanya.
Menurutnya, pengamatan pada perilaku binatang ini bisa menjadi metode pelengkap untuk mengukur curah hujan.
Kendala lainnya adalah kondisi tanah di Lombok Timur yang dominan kering. Dia membandingkan dengan kondisi tanah di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat yang juga tergabung dalam KPCH. Di Indramayu, terdapat sistem irigasi yang memudahkan petani mengelola lahan. Sementara di Lombok Timur, sistem irigasinya terbatas.
Hal tersebut, demikian Yunita, membuat pola tanam dan pola panen kedua daerah itu pun menjadi berbeda. (asa)
Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160720101430-20-145793/centong-penolong-petani-biar-untung
by kaha51 | Jul 20, 2016 | Liputan Media, Media Nasional, Media online
Lombok Timur (ANTARA News) – Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) bersama dengan Pusat Kajian Antropologi FISIP Universitas Indonesia menginisiasi pembentukan Klub Pengukur Curah Hujan di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Pembentukan klub tersebut merupakan bagian dari implementasi program Warung Ilmiah Lapangan (WIL) yang dilaksanakan oleh Puska UI melalui dukungan ICCTF dengan tujuan mengantisipasi kerugian petani akibat gagal panen yang disebabkan pengaruh perubahan iklim.
“Dengan program ini diharapkan dalam lima tahun yang akan datang kita punya pola bagus untuk bertani. Jadi maksud program ini adalah membantu petani dalam menentukan waktu yang tepat untuk bertani hingga panen dalam kondisi perubahan iklim,” tutur anggota Majelis Wali Amanat ICCTF Jatna Supriatna saat ditemui di Lombok Timur, NTB, Selasa pagi.
Sementara itu, Guru Besar Antropologi-FISIP UI Prof. Yunita T. Winarto menilai, program tersebut berjalan dengan sangat baik dan mendapat respons positif dari para petani di Lombok Timur, serta diharapkan mampu mengurangi dampak perubahan iklim dalam bidang pertanian di wilayah tersebut.
Ia menuturkan, relatif kurang dari dua tahun sejak pembentukan program tersebut pada akhir 2014 hingga juli 2016 sudah tersusun sebanyak sembilan klub di tiga kecamatan di Lombok Timur, masing-masing empat klub di Kecamatan Keruak, tiga klub di Kecamatan Sakra, dan dua klub di Kecamatan Jerowaru.
“Ini kerja sama yang baik antara petani, pemerintah dan ilmuwan dalam program seperti ini. Karena sepengalaman kami, tidak mudah mengumpulkan kawan-kawan petani untuk ikut program seperti ini dalam waktu relatif singkat,” ujar Yunita salah satu inisiator.
Program tersebut bermaksud membentuk jejaring wilayah antara pemerintah, penyuluh pertanian, petani, ilmuwan, dan para pihak lainnya untuk membantu petani meningkatkan kemampuan adaptasi pada perubahan iklim melalui pembelajaran agrometeorologi dalam WIL.
WIL mengembangkan sebuah pendekatan penyuluhan baru dengan pengalihan pengetahuan untuk pemanfaatan operasional, tuturnya.
Program WIL yang dipelopori oleh Puska UI tersebut pelaksanaannya didukung secara langsung oleh ICCTF mulai April 2016 hingga Maret 2018 dengan wilayah operasi utama di Kabupaten Indramayu (Jawa Barat) dan Kabupaten Lombok Timur (NTB).
ICCTF merupakan satuan tugas di bawah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang bertugas mengelola dana untuk penanggulangan perubahan iklim di Indonesia.
Satgas tersebut didirikan pada 2009 dan bertujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi koordinasi penanganan perubahan iklim di Indonesia sesuai dengan Rencana Aksi Nasional/Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim.
Pewarta: Roy Rosa Bachtiar
Editor: Heppy Ratna Sari
COPYRIGHT © ANTARA 2016