Review Skripsi: Dinamika Variasi Pengetahuan Petani Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu Dalam Mengantisipasi Kondisi Cuaca Pada Musim Rendheng 2013—2014

Review Skripsi: Dinamika Variasi Pengetahuan Petani Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu Dalam Mengantisipasi Kondisi Cuaca Pada Musim Rendheng 2013—2014

Pembelajaran petani pada Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu (KPCHI) memungkinkan terjadinya variasi di antara para anggota. Latar belakang pengetahuan individu yang beragam ditambah dengan adanya pengetahuan baru menguatkan adanya dinamika variasi, terutama dalam menghadapi fenomena cuaca yang tidak menentu. Ekosistem dan cuaca yang terus berubah, juga adanya pengetahuan baru dari pengukur curah hujan memberi pengaruh terhadap antisipasi petani terkait respons dan tindakannya.

Fenomena-fenomena seperti tidak menentunya cuaca dan ledakan hama tentu menimbulkan banyak pertanyaan bagi petani, karena berdasarkan pengalaman mereka tidak dapat memberikan penjelasan terhadap kondisi ini. Pembelajaran agrometeorologi memberikan pemahaman dan alternatif penjelasan bagi petani terutama dalam menghadapi perubahan iklim dengan kolaborasi antara petani dan ilmuwan. Dengan kata lain unsur pengetahuan lokal petani dikombinasikan dengan pengetahuan baru, seperti data curah hujan dan skenario musiman. Ini berguna terutama dalam penentuan waktu tanam yang sesuai.

Dengan mengamati kondisi iklim dan ekosistem, ditambah dengan data dan pengetahuan baru yang diterima, petani dapat menginterpretasi sebagai dasar untuk melakukan tindakan antisipasi. Kombinasi pengetahuan yang didapatkan ini tentu menyesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar sehingga skenario pengaktifan pengetahuan dinamis dan dapat berubah. Implikasinya dapat berupa pada penundaan jadwal tanam, yang membuktikan bahwa tindakan sangat dipengaruhi lingkungan secara kontekstual.

Penjelasan mengenai perubahan iklim drastis yang terjadi tidak dapat dijelaskan secara gamblang melalui pengetahuan petani, maka itu diperlukan intervensi pengetahuan dari pihak ilmuwan agar menjelaskan kondisi iklim yang terjadi. Dengan pembelajaran agrometeorologi menstimulasi dan mengombinasi pengetahuan lama petani agar menentukan tindakan yang tepat. Pengetahuan petani diperkaya dan mempengaruhi tindakan selanjutnya, sehingga petani dapat memprakirakan kondisi akan datang dan menentukan strategi antisipasi yang jitu. Hal ini berguna terutama untuk menghindari kerugian. (Sean Setio Haliman)

Skripsi : Ubaidillah Pratama Rovihansyah

Review Skripsi “Belajar Agrometeorologi dengan atau Tanpa Pengambilan Keputusan: Kasus Pada Musim Rendeng 2013—2014”

Review Skripsi “Belajar Agrometeorologi dengan atau Tanpa Pengambilan Keputusan: Kasus Pada Musim Rendeng 2013—2014”

Petani memiliki keragaman dalam pembelajarannya dalam Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu (KPCHI). Dalam hal ini adalah pembelajaran mengenai agrometeorologi yang terkait dengan pengaturan dan rekayasa sumber daya alam yang terkait pertanian. Warung Ilmiah Lapangan (WIL) berperan untuk meningkatkan kemampuan petani dalam menghadapi perubahan iklim. Contohnya pada pengukuran curah hujan harian dan agroekosistem harian sebagai cara petani menghadapi perubahan iklim. Antisipasi pada level kognisi tentu terkait dengan pengambilan keputusan yang dilandaskan pada pengetahuan. Faktor kepemilikan lahan dan akses yang didapatkan menjadi hal penting karena mempengaruhi kepercayaan diri dan pengetahuan yang diterima. Keragaman dan perbedaan proses belajar agrometeorologi tentu mempengaruhi pengetahuan, pemahaman, dan tindakan dari petani.

Antisipasi dan pengambilan keputusan didasarkan pada pengamatan harian dari unsur agroekosistem dan iklim yang berpengaruh selama musim tanam berlangsung. Kesiapan diperlukan petani untuk menentukan masa depan petani. Pembelajaran petani yang didapatkan dari Warung Ilmiah Lapangan diwujudkan dan didasari oleh praktik dan pengamatan situasi yang akan menentukan pengambilan keputusan. Tentu tindakannya tidak seragam, melainkan beragam karena didasarkan pada latar belakang dan kapasitas penerimaan keputusan. Dua cara belajar yang paling berpengaruh terkait dengan pengambilan keputusan dan pengamatan yang diwujudkan melalui umpan balik.

Dalam membantu petani terkait dengan perubahan iklim yang dihadapi, petani KPCHI terbantu dalam hal pengukuran curah hujan, pengamatan agroekosistem, dan skenario musiman. Skema pengetahuan lama kemudian diperbaharui oleh pengetahuan agrometeorologi yang akan mempengaruhi tindakan, tentu tindakan yang dihasilkan bervariasi. Skema pengetahuan lama tidak sepenuhnya ditinggalkan dengan mengombinasikan pengetahuan baru dan pengetahuan baru yang benar-benar dijalankan sepenuhnya.

Pengamatan petani dengan petani lain yang non anggota KPCHI tentu menimbulkan kepuasan tersendiri bagi petani anggota atas pengetahuan baru yang mereka dapatkan. Ini merupakan umpan balik dari pembelajaran agrometeorologi yang petani dapatkan. Umpan balik juga ditentukan oleh bukti, terutama bukti dari hasil panen sehingga menentukan tindakan dan pengetahuan petani selanjutnya. Anggota KPCHI dalam hal pengetahuan baru membantu mereka menghadapi perubahan iklim. (Sean Setio Haliman)

Sumber: Skripsi Aria Sakti Handoko

Review Skripsi “Mengantisipasi Risiko Perubahan Iklim: Dinamika dan Variasi Respons Anggota Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu di tahun 2012—2013”

Review Skripsi “Mengantisipasi Risiko Perubahan Iklim: Dinamika dan Variasi Respons Anggota Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu di tahun 2012—2013”

Pembelajaran agrometeorologi pada Warung Ilmiah Lapangan (WIL) bertujuan untuk mendorong petani agar tanggap terhadap perubahan iklim yang terjadi. Meski demikian, perubahan iklim yang dianggap meningkatkan kerentanan bagi petani ternyata beragam definisinya, karena “rentan” memiliki konsepsi yang berbeda-beda pada petani. Pengambilan keputusan dalam rangka kegiatan penanaman juga beragam karena didasarkan pada perbedaan pemahaman tadi. Ini sesuai dengan konsep rational choice karena perlu untuk melihat dan cara petani merespons pembelajaran yang mereka dapatkan. Persepsi petani dalam mengantisipasi perubahan iklim tentu beragam, terutama setelah mendapatkan pembelajaran WIL. Kemudian strategi dalam menghadapi kerentanan dan keuntungan serta kerugian yang didapatkan masih berada dalam konteks Revolusi Hijau di mana intensifikasi pertanian dan pestisida direproduksi pemahamannya oleh petani seiring perubahan iklim yang terjadi.

Petani memastikan dan membentuk kepercayaan lewat bukti yang mereka dapatkan, dalam hal ini terutama pada musim panen. Pembelajaran secara individu menjadi pembelajaran secara sosial karena berada pada arena sosial di mana petani melihat hasil dan bukti dari petani lainnya. Dengan adanya ilmu baru dari ilmuwan, pembelajaran agrometeorologi mempengaruhi pengambilan keputusan dan pertimbangan risiko petani. Keragaman ekosistem berpengaruh pada variasi petani dalam memersepsikan kerentanan. Contoh pada pengairan, kondisi tanah, dan intensitas curah hujan yang beragam. Kerentanan yang tidak diduga meningkat seiring perubahan iklim yang terjadi.

Melalui pembelajaran pada Warung Ilmiah Lapangan, petani memersepsikan kembali kerentanan yang mereka hadapi. Strategi dalam arena ekosistem dan perubahan iklim menjadi dampak dari pembelajaran yang didapatkan. Risiko kerentanan yang meningkat membuat petani kesulitan untuk mengonsepkan kerentanan yang terjadi. Kondisi musim yang tidak menentu dan ekosistem telah menjadi momok tersendiri bagi petani. Karena itulah jaringan bagi petani anggota Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu (KPCHI) menjadi penting, terutama sebagai strategi menghadapi musim rendheng. Lewat pengukuran curah hujan yang menjadi hasil pembelajaran, menentukan strategi dan tindakan petani menghadapi masa tanam selanjutnya. Contoh dengan meningkatkan variasi tanaman yang akan ditanam dan kemungkinan datangnya hama. Ini menolong petani memersepsikan kembali kerentanan yang mereka hadapi. (Sean Setio Haliman)

Sumber: Skripsi Muki Trenggono Wicaksono

 

Review Skripsi “Menyebarluaskan Pembelajaran Agrometeorologi: Variasi Luaran dari Keagenan Petani Pengukur Curah Hujan Indramayu”

Review Skripsi “Menyebarluaskan Pembelajaran Agrometeorologi: Variasi Luaran dari Keagenan Petani Pengukur Curah Hujan Indramayu”

Pembelajaran agrometeorologi melalui program WIL di Indramayu telah dilaksanakan sejak tahun 2010. Pembelajaran ini menekankan pada pengaturan dan rekayasa terhadap sumber daya alam yang mendukung pertanian untuk meningkatkan taraf hidup petani. WIL sekaligus menawarkan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan para petani dan ilmuwan saling bertukar pengetahuannya sehingga dialog transmisi pengetahuan di antara mereka tidak terelakkan. Salah satu hal yang mereka lakukan adalah melakukan kegiatan pengukuran curah hujan dan mengamati agroekosistem setiap harinya, menjadi peneliti di lahan sendiri. Namun demikian, para petani yang diberikan pembelajaran yang sama tidak selalu memiliki keluaran yang sama. Terdapat variasi luaran yang beragam dari kegiatan petani pengukur curah hujan di Indramayu, Jawa Barat saat mereka belajar agrometeorologi pada Klub Pengurus Curah Hujan Indramayu. Tiap-tiap petani yang memiliki kapasitas berbeda, maka luaran yang dihasilkan pun beragam. Pada akhirnya pembelajaran agrometeorologi membentuk atau mengubah skema pengetahuan petani yang kemudian akan mempengaruhi tindakannya. Namun kembali lagi pada faktor keragaman dan latar belakang pengetahuan, juga kapasitas individu terhadap pengetahuan baru, maka dapat menghasilkan luaran atau tidak.

Kepemilikan lahan menjadi salah satu faktor yang menentukan karena mempengaruhi kepercayaan diri seseorang dan interpretasi mereka pada beragam hal. Pendekatan etnografi yang mendalam dibutuhkan untuk memahami permasalahan ini. Keragaman latar belakang petani kemudian menentukan penerimaan pengetahuan yang pada akhirnya akan menentukan tindakan seseorang, terutama dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan mata pencaharian dan menghadapi perubahan iklim. (Sean Setio Haliman)

Sumber: Skripsi Adlinanur Febri Prihandiani, 2017

Penentuan Waktu Tanam sebagai Bentuk Antisipasi

Penentuan Waktu Tanam sebagai Bentuk Antisipasi

Skenario Musiman dan Antisipasi Petani

Warung Ilmiah Lapangan (WIL) memfokuskan secara khusus pada peningkatan pengetahuan petani dan meningkatkan kemampuan untuk menetukan strategi adaptasi untuk mengurangi dampak perubahan iklim pada pertanian. WIL bertujuan untuk memperkaya pemahaman petani tentang rincian pola curah hujan harian, bulanan dan musiman serta implikasinya terhadap ekosistem dan pertumbuhan tanaman. Pemahaman itu diharapkan dapat meningkatkan kemampuan antisipasi terhadap situasi iklim musiman di masa mendatang. Kasus di bawah ini menunjukan contoh kasus hasil pembelajaran petani dalam WIL berupa pengayaan skema kognitif dalam membaca dan menafsirkan skenario musiman dan menerjemahkannya dalam bentuk strategi pertanian yang adaptif menghadapi keterlambatan awal musim hujan dan berlangsungnya musim kemarau yang berkepanjangan pada saat berlangsungnya El-Nino tahun 2015. Dari ketidakmampuan  untuk melihat dan meramalkan fenomena di luar pengetahuan empiris mereka, petani pengamat curah hujan secara bertahap memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara kondisi iklim yang mungkin terjadi dengan pengambilan keputusan strategi antisipasi yang jitu.

Menentukan Waktu Tanam

Antisipasi menghadapi konsekuensi perubahan iklim -musim kemarau yang berkepanjangan- dilakukan oleh Dirham, petani pengukur curah hujan di desa Amis, Cikedung, Indramayu. Berdasarkan skenario musiman yang mengabarkan perihal keterlambatan awal musim hujan serta musim kemarau yang amat kering, Dirham melakukan antisipasi berupa penentuan waktu tanam yang lebih awal dibandingkan dengan petani-petani lain di hamparan sawahnya dan lebih lambat dibandingkan dengan kalender tanam yang disarankan pemerintah. Beberapa alasan mendasari penentuan waktu tanam yang dilakukan oleh Dirham.

Pertama, sadar akan kekeringan yang terjadi, Dirham tidak ingin sawahnya kekurangan air dan mengalami gagal panen. Menurutnya, walaupun sudah melakukan tanam lebih awal, ia tetap harus memasok air menggunakan sumur pantek yang membuat dirinya harus tidur di saung yang ada didekat sawahnya. Hal ini disebabkan penggunaan sumur pantek selama satu hari satu malam hingga kebutuhan air bagi sawah miliknya seluas 170 bata dapat terpenuhi. Jika awal tanam ia lakukan secara serempak, maka ia harus bersaing dengan petani lainnya untuk menggunakan sumur pantek. Menurutnya, persaingan tersebut cukup besar, karena hamparan sawah disekitar lahan miliknya tidak berwarna hitam. Tanah yang berwarna hitam, berdasarkan pengetahuan Dirham, merupakan tanah dengan kandungan air yang cukup banyak.

Alasan lain yang membuat Dirham menentukan awal tanam pada bulan Mei ialah keberadaan hama dan penyakit pada bulan Februari, Maret dan April. Berdasarkan pengetahuan yang ia dapatkan melalui WIL, hama dan penyakit hadir pada bulan Februari, Maret, dan April. Dirham mengatakan bahwa keberadaan penyakit pada bulan-bulan tersebut disebabkan oleh jumlah curah hujan yang cukup banyak namun sinar matahari terbatas. Oleh karena itu, modal yang harus ia keluarkan jika menanam pada bulan Februari, Maret ataupun April jauh lebih besar dibandingkan jika ia menanam pada bulan Mei. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, pernyataan Dirham tersebut telah memperlihatkan bahwa antisipasi yang dilakukan didasari oleh perhitungan atas kemungkinan kerugian yang dialami di masa depan. Pada kasus Dirham serta petani lainnya, antisipasi dilakukan untuk mendapatkan hasil produksi yang tinggi.

Konsekuensi penentuan waktu tanam

Walaupun Dirham mampu menghindari persaingan atas pemenuhan kebutuhan air bagi sawahnya, namun ia tidak dapat menghindari keberadaan hama yang menyerang lahan sawah miliknya. Ia sadar bahwa limpahan hama pada sawahnya disebabkan oleh waktu tanam yang berbeda dan tidak serempak dengan petani lainnya. Hama terbesar yang ia rasalah adalah serangan burung yang menurutnya hingga ratusan dan terlihat seperti kereta api.  Menurut Dirham, hal ini terjadi karena padi miliknya merupakan satu-satunya sawah yang padinya “bunting”. Ketika sawah miliknya hampir panen, tetangga petani di hamparannya baru melakukan tanam. Upaya Dirham untuk mengusir burung-burung yang datang dilakukan dengan melibatkan seluruh angggota keluarganya. Ada dua cara yang ia terapkan, pertama membuat orang-orangan sawah. Upaya kedua Dirham ialah menggantungkan banyak kantong plastik disekitar sawah yang ia miliki. Disisi lain, penggunaan kantong plastik tidak hanya berguna untuk menakuti burung namun juga serangan tikus. Jika ia melakukan awal tanam yang serempak dengan petani lainnya, ia yakin bahwa serangan hama burung akan jauh berkurang. walau begitu, Dirham tidak menyesali keputusannya untuk menentukan waktu tanam lebih awal karena tetap mendapatkan hasil panen yang menurutnya lumayan dibandingkan dengan petani lain yang gagal panen karena kemarau panjang yang menyebabkan ketersediaan air terbatas.

Pengetahuan Lokal Petani dalam Perubahan Iklim

Pengetahuan Lokal Petani dalam Perubahan Iklim

Pranata Mangsa dan Petani: Pengetahuan Lokal Petani dalam Perubahan Iklim

Pranata mangsa merupakan kosmologi lokal yang dimiliki dan digunakan oleh petani di Jawa sebagai panduan dalam bercocok tanam. Terdapat beberapa aliran pranata mangsa, diantaranya klasifikasi alam berdasarkan tahun Islam, klasifikasi berdasarkan tahun Jawa, dan Aboge (Alip rebo wage). Pembagian tahun dalam pranata mangsa, berbeda dengan tahun republik (tahun masehi). Pada pranata mangsa yang dimiliki oleh Karwita, satu tahun dibagi kedalam 12 mangsa. Setiap mangsa, memiliki keterangan sifat mangsa berdasarkan gejala alam, hingga pedoman kegiatan petani dalam mangsa tersebut. Hampir seluruh kegiatan bercocok tanam para petani didasari oleh pengetahuan mengenai pranata mangsa. Sebut saja penentuan waktu menyemai, mengolah tanah, hingga penanaman kembali (nandur). Tidak hanya menjadi pedoman kegiatan bertani, pranata mangsa juga digunakan petani untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari seperti membangun rumah, hingga pemilihan hari baik untuk waktu bepergian.

“Menguji” Pranata Mangsa

Karwita, merupakan petani pengukur curah hujan di Desa Amis yang telah mengalami pembelajaran agrometerologi selama 5 tahun melalui Warung Ilmiah Lapangan (WIL). Melalui warung ilmiah lapangan, petani dianggap sebagai ilmuwan yang meneliti sawah garapannya sendiri melalui pengamatan hingga pengukuran curah yang dilakukan setiap hari. Kegiatan pembelajaran agrometeorologi yang dilakukan oleh Karwita adalah sebuah langkah untuk memperkaya pengetahuan petani dalam memahami perubahan iklim. Hal ini dikarenakan, perubahan iklim serta berbagai konsekuensinya merupakan hal yang berada diluar ranah pengetahuan petani.

Sejak menjadi petani, berbagai kegiatan bercocok tanam yang dilakukan Karwita didasari oleh pengetahuannya mengenai pranata mangsa. Namun, beberapa tahun belakangan pranata mangsa yang menjadi pedoman, seringkali ia anggap “meleset”. Ada ketidakcocokan antara gejala alam pada mangsa dengan realita dilapangan. Pada suatu malam, Karwita menjelaskan kepada saya contoh ketidakcocokan dalam pranata mangsa. Ia mengatakan bahwa tahun ini merupakan tahun Hé dalam primbon pranata mangsa. Tahun yang memiliki simbol kelabang ini memiliki 70 hari hujan (sebagaimana yang tertera dalam buku primbon pranata mangsa Karwita). Namun, jika ia bandingkan dengan dokumentasi pengukuran yang dilakukannya hingga bulan Agustus, jumlah hari hujan bahkan jauh dari angka 70.

Pengumpulan data curah hujan yang dilakukan oleh Karwita telah membuat dirinya mampu untuk menguji pengetahuan pranata mangsa yang dimiliki melalui dokumentasi curah hujan dan skenario musiman yang diberikan oleh Pak Kees. Ia dapat melihat kecocokan maupun perbedaan antara data yang dimiliki dengan prakiraan satu tahun pranata mangsa. Melalui pengujian tersebut, Karwita dapat menemukenali pranata mangsa yang selama ini menjadi pedomannya dalam bertani. Sebagai contoh, perbedaan gejala serta jumlah curah hujan kemudian dikaitkan sengan siklus windu yang memengaruhi paranata mangsa. Disisi lain, Karwita merasa ia seperti membuat pranata mangsanya sendiri berdasarkan data curah hujan serta pengamatan yang ia lakukan.

Simpulan

Berdasarkan narasi yang disampaikan Karwita mengenai pranata mangsa setelah mendapatkan pembelajaran agrometeorologi, ada dua hal yang patut digaris bawahi. Pertama, Warung Ilmiah Lapangan berhasil membuat petani sadar akan perubahan iklim yang memengaruhi individu maupun kolektif. Kedua, pengetahuan petani akan perubahan iklim menjadi pemicu bagi petani untuk menguji, memahami, serta menemukenali pedoman yang selama ini digunakan, yakni pranata mangsa. Oleh karenanya, dapat saya katakan bahw a pembelajaran agrometeorologi melalui Warung Ilmiah Lapangan telah memperkaya pengetahuan lokal yang dimiliki petani, yakni paranata mangsa.