Review Skripsi “Menyebarluaskan Pembelajaran Agrometeorologi: Variasi Luaran dari Keagenan Petani Pengukur Curah Hujan Indramayu”

Review Skripsi “Menyebarluaskan Pembelajaran Agrometeorologi: Variasi Luaran dari Keagenan Petani Pengukur Curah Hujan Indramayu”

Pembelajaran agrometeorologi melalui program WIL di Indramayu telah dilaksanakan sejak tahun 2010. Pembelajaran ini menekankan pada pengaturan dan rekayasa terhadap sumber daya alam yang mendukung pertanian untuk meningkatkan taraf hidup petani. WIL sekaligus menawarkan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan para petani dan ilmuwan saling bertukar pengetahuannya sehingga dialog transmisi pengetahuan di antara mereka tidak terelakkan. Salah satu hal yang mereka lakukan adalah melakukan kegiatan pengukuran curah hujan dan mengamati agroekosistem setiap harinya, menjadi peneliti di lahan sendiri. Namun demikian, para petani yang diberikan pembelajaran yang sama tidak selalu memiliki keluaran yang sama. Terdapat variasi luaran yang beragam dari kegiatan petani pengukur curah hujan di Indramayu, Jawa Barat saat mereka belajar agrometeorologi pada Klub Pengurus Curah Hujan Indramayu. Tiap-tiap petani yang memiliki kapasitas berbeda, maka luaran yang dihasilkan pun beragam. Pada akhirnya pembelajaran agrometeorologi membentuk atau mengubah skema pengetahuan petani yang kemudian akan mempengaruhi tindakannya. Namun kembali lagi pada faktor keragaman dan latar belakang pengetahuan, juga kapasitas individu terhadap pengetahuan baru, maka dapat menghasilkan luaran atau tidak.

Kepemilikan lahan menjadi salah satu faktor yang menentukan karena mempengaruhi kepercayaan diri seseorang dan interpretasi mereka pada beragam hal. Pendekatan etnografi yang mendalam dibutuhkan untuk memahami permasalahan ini. Keragaman latar belakang petani kemudian menentukan penerimaan pengetahuan yang pada akhirnya akan menentukan tindakan seseorang, terutama dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan mata pencaharian dan menghadapi perubahan iklim. (Sean Setio Haliman)

Sumber: Skripsi Adlinanur Febri Prihandiani, 2017

Penentuan Waktu Tanam sebagai Bentuk Antisipasi

Penentuan Waktu Tanam sebagai Bentuk Antisipasi

Skenario Musiman dan Antisipasi Petani

Warung Ilmiah Lapangan (WIL) memfokuskan secara khusus pada peningkatan pengetahuan petani dan meningkatkan kemampuan untuk menetukan strategi adaptasi untuk mengurangi dampak perubahan iklim pada pertanian. WIL bertujuan untuk memperkaya pemahaman petani tentang rincian pola curah hujan harian, bulanan dan musiman serta implikasinya terhadap ekosistem dan pertumbuhan tanaman. Pemahaman itu diharapkan dapat meningkatkan kemampuan antisipasi terhadap situasi iklim musiman di masa mendatang. Kasus di bawah ini menunjukan contoh kasus hasil pembelajaran petani dalam WIL berupa pengayaan skema kognitif dalam membaca dan menafsirkan skenario musiman dan menerjemahkannya dalam bentuk strategi pertanian yang adaptif menghadapi keterlambatan awal musim hujan dan berlangsungnya musim kemarau yang berkepanjangan pada saat berlangsungnya El-Nino tahun 2015. Dari ketidakmampuan  untuk melihat dan meramalkan fenomena di luar pengetahuan empiris mereka, petani pengamat curah hujan secara bertahap memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara kondisi iklim yang mungkin terjadi dengan pengambilan keputusan strategi antisipasi yang jitu.

Menentukan Waktu Tanam

Antisipasi menghadapi konsekuensi perubahan iklim -musim kemarau yang berkepanjangan- dilakukan oleh Dirham, petani pengukur curah hujan di desa Amis, Cikedung, Indramayu. Berdasarkan skenario musiman yang mengabarkan perihal keterlambatan awal musim hujan serta musim kemarau yang amat kering, Dirham melakukan antisipasi berupa penentuan waktu tanam yang lebih awal dibandingkan dengan petani-petani lain di hamparan sawahnya dan lebih lambat dibandingkan dengan kalender tanam yang disarankan pemerintah. Beberapa alasan mendasari penentuan waktu tanam yang dilakukan oleh Dirham.

Pertama, sadar akan kekeringan yang terjadi, Dirham tidak ingin sawahnya kekurangan air dan mengalami gagal panen. Menurutnya, walaupun sudah melakukan tanam lebih awal, ia tetap harus memasok air menggunakan sumur pantek yang membuat dirinya harus tidur di saung yang ada didekat sawahnya. Hal ini disebabkan penggunaan sumur pantek selama satu hari satu malam hingga kebutuhan air bagi sawah miliknya seluas 170 bata dapat terpenuhi. Jika awal tanam ia lakukan secara serempak, maka ia harus bersaing dengan petani lainnya untuk menggunakan sumur pantek. Menurutnya, persaingan tersebut cukup besar, karena hamparan sawah disekitar lahan miliknya tidak berwarna hitam. Tanah yang berwarna hitam, berdasarkan pengetahuan Dirham, merupakan tanah dengan kandungan air yang cukup banyak.

Alasan lain yang membuat Dirham menentukan awal tanam pada bulan Mei ialah keberadaan hama dan penyakit pada bulan Februari, Maret dan April. Berdasarkan pengetahuan yang ia dapatkan melalui WIL, hama dan penyakit hadir pada bulan Februari, Maret, dan April. Dirham mengatakan bahwa keberadaan penyakit pada bulan-bulan tersebut disebabkan oleh jumlah curah hujan yang cukup banyak namun sinar matahari terbatas. Oleh karena itu, modal yang harus ia keluarkan jika menanam pada bulan Februari, Maret ataupun April jauh lebih besar dibandingkan jika ia menanam pada bulan Mei. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, pernyataan Dirham tersebut telah memperlihatkan bahwa antisipasi yang dilakukan didasari oleh perhitungan atas kemungkinan kerugian yang dialami di masa depan. Pada kasus Dirham serta petani lainnya, antisipasi dilakukan untuk mendapatkan hasil produksi yang tinggi.

Konsekuensi penentuan waktu tanam

Walaupun Dirham mampu menghindari persaingan atas pemenuhan kebutuhan air bagi sawahnya, namun ia tidak dapat menghindari keberadaan hama yang menyerang lahan sawah miliknya. Ia sadar bahwa limpahan hama pada sawahnya disebabkan oleh waktu tanam yang berbeda dan tidak serempak dengan petani lainnya. Hama terbesar yang ia rasalah adalah serangan burung yang menurutnya hingga ratusan dan terlihat seperti kereta api.  Menurut Dirham, hal ini terjadi karena padi miliknya merupakan satu-satunya sawah yang padinya “bunting”. Ketika sawah miliknya hampir panen, tetangga petani di hamparannya baru melakukan tanam. Upaya Dirham untuk mengusir burung-burung yang datang dilakukan dengan melibatkan seluruh angggota keluarganya. Ada dua cara yang ia terapkan, pertama membuat orang-orangan sawah. Upaya kedua Dirham ialah menggantungkan banyak kantong plastik disekitar sawah yang ia miliki. Disisi lain, penggunaan kantong plastik tidak hanya berguna untuk menakuti burung namun juga serangan tikus. Jika ia melakukan awal tanam yang serempak dengan petani lainnya, ia yakin bahwa serangan hama burung akan jauh berkurang. walau begitu, Dirham tidak menyesali keputusannya untuk menentukan waktu tanam lebih awal karena tetap mendapatkan hasil panen yang menurutnya lumayan dibandingkan dengan petani lain yang gagal panen karena kemarau panjang yang menyebabkan ketersediaan air terbatas.

Pengetahuan Lokal Petani dalam Perubahan Iklim

Pengetahuan Lokal Petani dalam Perubahan Iklim

Pranata Mangsa dan Petani: Pengetahuan Lokal Petani dalam Perubahan Iklim

Pranata mangsa merupakan kosmologi lokal yang dimiliki dan digunakan oleh petani di Jawa sebagai panduan dalam bercocok tanam. Terdapat beberapa aliran pranata mangsa, diantaranya klasifikasi alam berdasarkan tahun Islam, klasifikasi berdasarkan tahun Jawa, dan Aboge (Alip rebo wage). Pembagian tahun dalam pranata mangsa, berbeda dengan tahun republik (tahun masehi). Pada pranata mangsa yang dimiliki oleh Karwita, satu tahun dibagi kedalam 12 mangsa. Setiap mangsa, memiliki keterangan sifat mangsa berdasarkan gejala alam, hingga pedoman kegiatan petani dalam mangsa tersebut. Hampir seluruh kegiatan bercocok tanam para petani didasari oleh pengetahuan mengenai pranata mangsa. Sebut saja penentuan waktu menyemai, mengolah tanah, hingga penanaman kembali (nandur). Tidak hanya menjadi pedoman kegiatan bertani, pranata mangsa juga digunakan petani untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari seperti membangun rumah, hingga pemilihan hari baik untuk waktu bepergian.

“Menguji” Pranata Mangsa

Karwita, merupakan petani pengukur curah hujan di Desa Amis yang telah mengalami pembelajaran agrometerologi selama 5 tahun melalui Warung Ilmiah Lapangan (WIL). Melalui warung ilmiah lapangan, petani dianggap sebagai ilmuwan yang meneliti sawah garapannya sendiri melalui pengamatan hingga pengukuran curah yang dilakukan setiap hari. Kegiatan pembelajaran agrometeorologi yang dilakukan oleh Karwita adalah sebuah langkah untuk memperkaya pengetahuan petani dalam memahami perubahan iklim. Hal ini dikarenakan, perubahan iklim serta berbagai konsekuensinya merupakan hal yang berada diluar ranah pengetahuan petani.

Sejak menjadi petani, berbagai kegiatan bercocok tanam yang dilakukan Karwita didasari oleh pengetahuannya mengenai pranata mangsa. Namun, beberapa tahun belakangan pranata mangsa yang menjadi pedoman, seringkali ia anggap “meleset”. Ada ketidakcocokan antara gejala alam pada mangsa dengan realita dilapangan. Pada suatu malam, Karwita menjelaskan kepada saya contoh ketidakcocokan dalam pranata mangsa. Ia mengatakan bahwa tahun ini merupakan tahun Hé dalam primbon pranata mangsa. Tahun yang memiliki simbol kelabang ini memiliki 70 hari hujan (sebagaimana yang tertera dalam buku primbon pranata mangsa Karwita). Namun, jika ia bandingkan dengan dokumentasi pengukuran yang dilakukannya hingga bulan Agustus, jumlah hari hujan bahkan jauh dari angka 70.

Pengumpulan data curah hujan yang dilakukan oleh Karwita telah membuat dirinya mampu untuk menguji pengetahuan pranata mangsa yang dimiliki melalui dokumentasi curah hujan dan skenario musiman yang diberikan oleh Pak Kees. Ia dapat melihat kecocokan maupun perbedaan antara data yang dimiliki dengan prakiraan satu tahun pranata mangsa. Melalui pengujian tersebut, Karwita dapat menemukenali pranata mangsa yang selama ini menjadi pedomannya dalam bertani. Sebagai contoh, perbedaan gejala serta jumlah curah hujan kemudian dikaitkan sengan siklus windu yang memengaruhi paranata mangsa. Disisi lain, Karwita merasa ia seperti membuat pranata mangsanya sendiri berdasarkan data curah hujan serta pengamatan yang ia lakukan.

Simpulan

Berdasarkan narasi yang disampaikan Karwita mengenai pranata mangsa setelah mendapatkan pembelajaran agrometeorologi, ada dua hal yang patut digaris bawahi. Pertama, Warung Ilmiah Lapangan berhasil membuat petani sadar akan perubahan iklim yang memengaruhi individu maupun kolektif. Kedua, pengetahuan petani akan perubahan iklim menjadi pemicu bagi petani untuk menguji, memahami, serta menemukenali pedoman yang selama ini digunakan, yakni pranata mangsa. Oleh karenanya, dapat saya katakan bahw a pembelajaran agrometeorologi melalui Warung Ilmiah Lapangan telah memperkaya pengetahuan lokal yang dimiliki petani, yakni paranata mangsa.

Hasil Panen Musim Gaduh 2015 di Indramayu

Hasil Panen Musim Gaduh 2015 di Indramayu

Hasil Panen Musim Gaduh 2015 di Indramayu

Musim gaduh 2015 mungkin adalah yang paling kering dari yang pernah dialami para petani, khususnya di Indramayu, setelah kekeringan parah pada 1997-1998. Kekeringan yang dimulai sejak bulan Mei, sampai dengan tulisan ini dibuat belum juga menurun, bahkan berdasarkan skenario musiman, yang dikirim oleh Prof Kees Stigter, El-Niño yang terjadi pada 2015 adalah El-Niño kuat yang baru akan melemah perlahan pada bulan Februari atau Maret 2016, meski harapan kita adalah El-Niño segera melemah dan musim hujan mulai pada Desember 2015.

Kekeringan panjang yang tidak diantisipasi dengan baik akan membawa dampak yang serius, seperti gagal panen. Kondisi ini diamati oleh para petani yang tergabung dalam Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu (KPCHI) yang melaporkan bahwa hujan tidak pernah turun di Indramayu sejak Agustus 2015, berdasarkan pengamatan mereka di lahan masing-masing.  Di Zona 3 (zona irigasi) di Indramayu banyak petani yang mengalami gagal panen. Akan tetapi, ada juga petani Indramayu, dari Zona 3 atau Zona lain yang memiliki hasil panen yang bagus, bahkan meningkat dibandingkan dengan musim rendeng 2014, hal ini  disebabkan hama pada musim gaduh 2015 ini menurun secara signifikan akibat kelembaban yang menurun. Sehingga, asalkan sawah mendapat suplai air yang cukup, hasil panen akan tetap bagus. Kita akan melihat secara garis besar hasil panen dari zona Timur Utara dan Timur Selatan, setelah itu kita akan melihat cara petani KPCH melakukan antisipasi kekeringan panjang di lahannya.

Zona Timur Utara, Pak Nurkilah bersyukur masih bisa panen sebanyak 3 ton/ha. Meski mengalami kesulitan karena kekeringan dan hanya mengandalkan air sisa. Sementara itu pak Karsinah yang pada musim gaduh 2014 mendapat 6 ton/ha, di musim gaduh 2015 mendapat 5 ton/ha, juga karena kurangnya suplai air dari sumber lain, beliau hanya mengandalkan bor pantek. Lain cerita dengan pak Suyanto yang sawahnya kebagian irigasi teknis, sehingga hasilnya mencapai 6 ton/ha. Di sisi lain, ada juga petani dari Zona ini yang mengalami gagal panen, yakni pak Condra.

Zona Timur Selatan, Pak Tarlam mengalami peningkatan dari musim gaduh 2014, sebanyak 7 Ton, pada tahun 2015 menjadi 9 ton/ha. Hal ini disebabkan pak Tarlam kebagian irigasi teknis. Pak Karwita sedikit ada penurunan dari 5,8 ton/ha menjadi 5,6 ton/ha, sekarang pak Karwita sedang menanam bayam untuk dijadikan bibit kembali, dan kacang hijau. Beliau memilih menanam tanaman ini karena ketahanannya terhadap kekeringan dan panas dan harga jual yang tinggi. Ada satu lagi dari zona ini, yakni pak H. Darsono yang mendapat 12,5 ton/ha. Paling tinggi diantara rekan-rekan lain. hal ini disebabkan karena tidak ada hama penyakit dan cukupnya suplai air yang didapatkan dari Situ Bolang. dan bisa mengatur air keluar masuk. Varietas padi yang dipakai adalah Ciherang dan Bandul Besi, yang merupakan varietas padi lokal. Ciherang Bandul Besi menghasilkan lebih banyak ketimbang Ciherang.

Pak Condra, dari desa Tegal Sembadra mengalami gagal panen karena kekeringan parah dan tidak ada sumber air yang mencukupi kebutuhan untuk lahannya. Keputusan untuk tetap menanam padi dilakukannya karena mengikuti tetangga-tetangganya, sehingga suka tidak suka, pak Condra mengikuti kesepakatan tidak tertulis tersebut. Kata beliau menanam padi adalah suatu kewajiban yang “dari sananya sudah begitu,” dan merasa aneh apabila dirinya sendiri yang tidak menanam.

Lain lagi dengan Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Indramayu. Di desa ini sudah dibentuk Klub Satelit, ini berarti ada banyak petani pengukur curah hujan yang bergabung dalam KPCH dan untuk memfasilitasi mereka agar mudah berkoordinasi dan mengembangkan pembelajaran maka dibentuklah Klub Satelit di desa Nunuk agar  lokasi pembelajaran lebih dekat. Melalui Klub Satelit dan kebetulan Kuwu (kepala pemerintahan) desa Nunuk juga, sebelum menempati jabatannya, telah bergabung dengan KPCH, menginisiasi pertemuan desa yang membahas masalah kekeringan di desa mereka. Maka dibuatlah keputusan bersama untuk menanam lebih cepat, memastikan ketersediaan sumber air, dan memilih varietas yang umur pendek, agar bisa panen. Keputusan yang mampu diambil oleh para petani di Nunuk merupakan hasil pembelajaran pengukuran curah hujan dan agroekosistem yang sudah mereka mulai sejak 2009. Pengambilan keputusan ini dinilai sangat penting bagi petani yang terus belajar dari musim ke musim dan mencari solusi terbaik diantara hasil panen yang bagus dan berkualitas, lingkungan yang terjaga, dan keseimbangan ekosistem, serta kesejahteraan petani.

Iklim yang berubah, yang salah satunya ditandai dengan meningkatnya kejadian cuaca ekstrim, sangat sukar ditebak dan karenanya sangat penting untuk mendukung dan melindungi petani yang memproduksi makanan kita sehari-hari, salah satunya seperti contoh dari desa Nunuk. Petani terus belajar tentang lingkungannya dan didukung oleh pemerintah. Kalaupun gagal panen, petani sangat berharap ada asuransi yang disediakan pemerintah agar petani tidak merugi.