Pentingnya Petani Memahami Iklim

Pentingnya Petani Memahami Iklim

Oleh: Tarsono, Petani Desa Nunuk, Indramayu

Dalam pertanian, petani memang wajib mengetahui berbagai macam ilmu mulai dari pemuliaan bibit, sampai berbagai teknik budidaya agar mencapai hasil yang maksimal. Namun, dari sekian banyak ilmu tentang pertanian itu, ada satu cabang ilmu yang menurut saya masih jarang diketahui petani. Ilmu tersebut adalah Agro Meteorologi. Agro artinya pertanian, dan meteorologi artinya iklim.

Ilmu ini memang merupakan ilmu yang relatif baru di dunia pertanian, khususnya di Indonesia. Tetapi petani bisa belajar dan bisa menerapkan ilmu itu. Mengapa bagi petani sangat penting memperlajari ilmu tentang iklim atau mempelajari cuaca?

Pentingnya belajar iklim karena petani kerap kali merugi, ketika bertanam dengan mengabaikan faktor cuaca. Di kala kekeringan atau disaat banjir, tanaman terancam mengalami kerusakan dengan skala yang besar, nyaris sama merugikannya dengan serangan penyakit.

Karena itulah para petani muda Indramayu, membentuk Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu (KPCHI). Hadirnya KPCHI, bertujuan untuk sedikit membantu rekan-rekan petani didesa-desa di Indramayu untuk belajar memahami iklim.

Ada tujuh jasa layanan iklim yang ditawarkan untuk pertanian:

  1. Panduan untuk pengukur curah hujan oleh petani di lahannya sendiri
  2. Panduan untuk pengamatan agro-ekologi
  3. Mengukur dan mengevaluasi panen
  4. Pengorganisasian dari warung ilmiah lapangan (WIL) dan klub/pengukur curah hujan
  5. Skenario curah hujan musiman: perkembangannya dan pertukarannya
  6. Menyajikan pengetahuan baru
  7. Panduan untuk eksperimen dilahan sendiri

Para petani muda Indramayu memang mengakui cukup sulit mempelajari iklim. Namun seperti dikatakan Profesor Kees Stiegter dari Belanda: “Yang namanya belajar lama kelamaan akan bisa”. Wejangan itu dirasakan kebenarannya oleh para petani.

Saya sendiri, setelah belajar Agro Meteorologi selama hampir 8 tahun belajar, sangat merasakan manfaatnya. Banyak ilmu yang diambil, adaptasi, strategi bertani, mitigasi, dan lain-lain.

Manfaat langsung mempelajari iklim, kami rasakan betul ketika musim tanam tahun 2015. Ketika itu, pada bulan Mei, karena curah hujan di bawah normal karena adanya fenomena El Nino yang membawa iklim kering, kami mengimbau petani untuk melaksanakan strategi tanam lebih awal. Khusus Desa Nunuk, kami juga menyarankan pemerintah Desa Nunuk agar mengarahkan petani menanam padi lebih awal atau sistem culik.

Ternyata imbauan kami itu, terasa manfaatnya bagi petani. Ketika cuaca benar-benar kering, saat itu padi yang ditanam petani lebih awal sudah keluar malainya, sehingga selamat dari kekeringan. Alhasil musim tersebut, hasil produksi petani masih bisa mencapai 5-6 ton per hektare.

Hal yang sama juga terjadi di tahun 2016, ketika terjadi musim kemarau basah akibat fenomena La-Nina (basah). Saat itu, kami juga mengimbau agar petani tidak menanam semangka sebagai tanaman penjeda setelah dua kali tanam padi. Sayangnya saat itu para petani tak mendengarkan saran kami. Alhasil mereka yang bertanam semangka saat itu banyak yang rugi. Semangka yang mereka tanam, tidak ada satupun berbuah. Tidak ada petani yang panen alias gatot atau gagal total.

Sumber: http://villagerspost.com/opinion/pentingnya-petani-memahami-iklim/

Evaluasi Curah Hujan, Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu

Evaluasi Curah Hujan, Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu

Oleh Tarsono, Petani Muda Peneliti Curah Hujan, Desa Nunuk, Indramayu, Jawa Barat

Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu, Minggu (17/12) menggelar acara evaluasi pengukuran curah hujan yang telah dilaksanakan selama bulan November lalu. Dalam evaluasi tersebut, ada sejumlah empat koordinator wilayah yang hadir menyampaikan hasil evaluasi mereka.

Untuk zona Barat Utara, koordinator wilayah itu, Wartijah mengatakan, curah hujan di beberapa stasiun menunjukkan adanya curah hujan yang tinggi. Untuk kode stasiun BUKL 73 misalnya, tercatat curah hujan mencapai 218 mm. Di stasiun Bumk 84 curah hujan tercatat sebesar 135 mm. Stasiun BUCR 44, curah hujan tercatat sebesar 218,5 mm. “Saat ini di zona Barat Utara, sedang melakukan kegiatan panen raya,” kata Wartijah. Padi yang ditanam di zona tersebut kata Wartijah adalah varietas MSP dan Jongsu.

Sementara itu, untuk Zona Timur Selatan, koordinator wilayah itu, Dadi Iskandar melaporkan, di beberapa stasiun pengamatan, menunjukkkan curah hujan yang lebih tinggi. Di stasiun pengamatan TNSK 20, tercatat curah hujan mencapai 332,5 mm. Di stasiun TSTG 90 curah hujan tercatat mencapai 391 mm. Di stasiun pengamatan Tstg curah hujan paling tinggi yaitu 428 mm. “Di Zona Timur Selatan bulan November pada tanggal 20-27 khusus di desa Nunuk direkomendasikan semai,” kata Dadi. Saat ini petani Desa Nunuk memang tengah menyemai benih padi varietas Ciherang.

Kemudian untuk Zona Timur-Utara, Condra mengatakan, curah hujan tercatat juga cukup tinggi. Di stasiun TUTS 15 curah hujan tercatat mencapai 278 mm. Di stasiun TUPJ 11 curah hujan tercatat mencapai 311,5 mm. “Untuk zona Timur Utara belum ada kegiatan semai,” lapor Condra.

Terakhir adalah laporan pantauan curah hujan di zona Barat-Selatan. Korwil zona tersebut Komdani melaporkan, juga cukup tinggi. Di stasiun BSMW 06 curah hujan tercatat mencapai 327 mm, di stasiun pengamatan BSTK 70 curah hujan tercatat sebesar 251 mm. “Di zona Barat Selatan sudah ada kegiatan tanam bahkan sudah 12 HST (hari setelah tanam),” kata Komdani. Dia mengatakan, untuk wilayah ini, varietas yang dikembangkan adalah pandan wangi yaitu di Desa Mekar Waru dan varietas kebo di Desa Suka Slamet.

Dari hasil laporan per wilayah ini disimpulkan, pada bulan November, curah hujan memang tinggi karena dilewati oleh tiga siklon tropis dimana pada bulan tersebut terjadi 2 kali fenomena hujan badai. Dari pengamatan juga diketahui, Desa Curug mengalami hari kering terpanjang mencapai 7-9 hari tanpa hujan di November. Curah hujan terbesar terjadi di Zona Timur-Selatan tepatnya di Desa Tugu dimana curah hujan berturut-turut tercatat mencapai 428mm, 399mm, 391mm. Sementara curah hujan terendah terjadi di stasiun pengamatan Bumk 84 yaitu 135mm. Hari basah lebih banyak di daerah atau Zona Timur selatan yaitu 17 hari dalam satu bulan,” kata Dadi Iskandar. Sementara rentang normal curah hujan di Indramayu berdasarkan pengamatan berada pada rentang 60-145mm. Untuk antisipasi curah hujan tinggi, Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu merekomendasikan agar petani menanam padi dengan varietas umur panjang (4-6 bulan) seperti varietas IR karena memiliki batang yang lebih kuat.

Sumber: http://villagerspost.com/todays-feature/evaluasi-curah-hujan-klub-pengukur-curah-hujan-indramayu/

Penentuan Waktu Tanam sebagai Bentuk Antisipasi

Penentuan Waktu Tanam sebagai Bentuk Antisipasi

Skenario Musiman dan Antisipasi Petani

Warung Ilmiah Lapangan (WIL) memfokuskan secara khusus pada peningkatan pengetahuan petani dan meningkatkan kemampuan untuk menetukan strategi adaptasi untuk mengurangi dampak perubahan iklim pada pertanian. WIL bertujuan untuk memperkaya pemahaman petani tentang rincian pola curah hujan harian, bulanan dan musiman serta implikasinya terhadap ekosistem dan pertumbuhan tanaman. Pemahaman itu diharapkan dapat meningkatkan kemampuan antisipasi terhadap situasi iklim musiman di masa mendatang. Kasus di bawah ini menunjukan contoh kasus hasil pembelajaran petani dalam WIL berupa pengayaan skema kognitif dalam membaca dan menafsirkan skenario musiman dan menerjemahkannya dalam bentuk strategi pertanian yang adaptif menghadapi keterlambatan awal musim hujan dan berlangsungnya musim kemarau yang berkepanjangan pada saat berlangsungnya El-Nino tahun 2015. Dari ketidakmampuan  untuk melihat dan meramalkan fenomena di luar pengetahuan empiris mereka, petani pengamat curah hujan secara bertahap memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara kondisi iklim yang mungkin terjadi dengan pengambilan keputusan strategi antisipasi yang jitu.

Menentukan Waktu Tanam

Antisipasi menghadapi konsekuensi perubahan iklim -musim kemarau yang berkepanjangan- dilakukan oleh Dirham, petani pengukur curah hujan di desa Amis, Cikedung, Indramayu. Berdasarkan skenario musiman yang mengabarkan perihal keterlambatan awal musim hujan serta musim kemarau yang amat kering, Dirham melakukan antisipasi berupa penentuan waktu tanam yang lebih awal dibandingkan dengan petani-petani lain di hamparan sawahnya dan lebih lambat dibandingkan dengan kalender tanam yang disarankan pemerintah. Beberapa alasan mendasari penentuan waktu tanam yang dilakukan oleh Dirham.

Pertama, sadar akan kekeringan yang terjadi, Dirham tidak ingin sawahnya kekurangan air dan mengalami gagal panen. Menurutnya, walaupun sudah melakukan tanam lebih awal, ia tetap harus memasok air menggunakan sumur pantek yang membuat dirinya harus tidur di saung yang ada didekat sawahnya. Hal ini disebabkan penggunaan sumur pantek selama satu hari satu malam hingga kebutuhan air bagi sawah miliknya seluas 170 bata dapat terpenuhi. Jika awal tanam ia lakukan secara serempak, maka ia harus bersaing dengan petani lainnya untuk menggunakan sumur pantek. Menurutnya, persaingan tersebut cukup besar, karena hamparan sawah disekitar lahan miliknya tidak berwarna hitam. Tanah yang berwarna hitam, berdasarkan pengetahuan Dirham, merupakan tanah dengan kandungan air yang cukup banyak.

Alasan lain yang membuat Dirham menentukan awal tanam pada bulan Mei ialah keberadaan hama dan penyakit pada bulan Februari, Maret dan April. Berdasarkan pengetahuan yang ia dapatkan melalui WIL, hama dan penyakit hadir pada bulan Februari, Maret, dan April. Dirham mengatakan bahwa keberadaan penyakit pada bulan-bulan tersebut disebabkan oleh jumlah curah hujan yang cukup banyak namun sinar matahari terbatas. Oleh karena itu, modal yang harus ia keluarkan jika menanam pada bulan Februari, Maret ataupun April jauh lebih besar dibandingkan jika ia menanam pada bulan Mei. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, pernyataan Dirham tersebut telah memperlihatkan bahwa antisipasi yang dilakukan didasari oleh perhitungan atas kemungkinan kerugian yang dialami di masa depan. Pada kasus Dirham serta petani lainnya, antisipasi dilakukan untuk mendapatkan hasil produksi yang tinggi.

Konsekuensi penentuan waktu tanam

Walaupun Dirham mampu menghindari persaingan atas pemenuhan kebutuhan air bagi sawahnya, namun ia tidak dapat menghindari keberadaan hama yang menyerang lahan sawah miliknya. Ia sadar bahwa limpahan hama pada sawahnya disebabkan oleh waktu tanam yang berbeda dan tidak serempak dengan petani lainnya. Hama terbesar yang ia rasalah adalah serangan burung yang menurutnya hingga ratusan dan terlihat seperti kereta api.  Menurut Dirham, hal ini terjadi karena padi miliknya merupakan satu-satunya sawah yang padinya “bunting”. Ketika sawah miliknya hampir panen, tetangga petani di hamparannya baru melakukan tanam. Upaya Dirham untuk mengusir burung-burung yang datang dilakukan dengan melibatkan seluruh angggota keluarganya. Ada dua cara yang ia terapkan, pertama membuat orang-orangan sawah. Upaya kedua Dirham ialah menggantungkan banyak kantong plastik disekitar sawah yang ia miliki. Disisi lain, penggunaan kantong plastik tidak hanya berguna untuk menakuti burung namun juga serangan tikus. Jika ia melakukan awal tanam yang serempak dengan petani lainnya, ia yakin bahwa serangan hama burung akan jauh berkurang. walau begitu, Dirham tidak menyesali keputusannya untuk menentukan waktu tanam lebih awal karena tetap mendapatkan hasil panen yang menurutnya lumayan dibandingkan dengan petani lain yang gagal panen karena kemarau panjang yang menyebabkan ketersediaan air terbatas.

Pengetahuan Lokal Petani dalam Perubahan Iklim

Pengetahuan Lokal Petani dalam Perubahan Iklim

Pranata Mangsa dan Petani: Pengetahuan Lokal Petani dalam Perubahan Iklim

Pranata mangsa merupakan kosmologi lokal yang dimiliki dan digunakan oleh petani di Jawa sebagai panduan dalam bercocok tanam. Terdapat beberapa aliran pranata mangsa, diantaranya klasifikasi alam berdasarkan tahun Islam, klasifikasi berdasarkan tahun Jawa, dan Aboge (Alip rebo wage). Pembagian tahun dalam pranata mangsa, berbeda dengan tahun republik (tahun masehi). Pada pranata mangsa yang dimiliki oleh Karwita, satu tahun dibagi kedalam 12 mangsa. Setiap mangsa, memiliki keterangan sifat mangsa berdasarkan gejala alam, hingga pedoman kegiatan petani dalam mangsa tersebut. Hampir seluruh kegiatan bercocok tanam para petani didasari oleh pengetahuan mengenai pranata mangsa. Sebut saja penentuan waktu menyemai, mengolah tanah, hingga penanaman kembali (nandur). Tidak hanya menjadi pedoman kegiatan bertani, pranata mangsa juga digunakan petani untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari seperti membangun rumah, hingga pemilihan hari baik untuk waktu bepergian.

“Menguji” Pranata Mangsa

Karwita, merupakan petani pengukur curah hujan di Desa Amis yang telah mengalami pembelajaran agrometerologi selama 5 tahun melalui Warung Ilmiah Lapangan (WIL). Melalui warung ilmiah lapangan, petani dianggap sebagai ilmuwan yang meneliti sawah garapannya sendiri melalui pengamatan hingga pengukuran curah yang dilakukan setiap hari. Kegiatan pembelajaran agrometeorologi yang dilakukan oleh Karwita adalah sebuah langkah untuk memperkaya pengetahuan petani dalam memahami perubahan iklim. Hal ini dikarenakan, perubahan iklim serta berbagai konsekuensinya merupakan hal yang berada diluar ranah pengetahuan petani.

Sejak menjadi petani, berbagai kegiatan bercocok tanam yang dilakukan Karwita didasari oleh pengetahuannya mengenai pranata mangsa. Namun, beberapa tahun belakangan pranata mangsa yang menjadi pedoman, seringkali ia anggap “meleset”. Ada ketidakcocokan antara gejala alam pada mangsa dengan realita dilapangan. Pada suatu malam, Karwita menjelaskan kepada saya contoh ketidakcocokan dalam pranata mangsa. Ia mengatakan bahwa tahun ini merupakan tahun Hé dalam primbon pranata mangsa. Tahun yang memiliki simbol kelabang ini memiliki 70 hari hujan (sebagaimana yang tertera dalam buku primbon pranata mangsa Karwita). Namun, jika ia bandingkan dengan dokumentasi pengukuran yang dilakukannya hingga bulan Agustus, jumlah hari hujan bahkan jauh dari angka 70.

Pengumpulan data curah hujan yang dilakukan oleh Karwita telah membuat dirinya mampu untuk menguji pengetahuan pranata mangsa yang dimiliki melalui dokumentasi curah hujan dan skenario musiman yang diberikan oleh Pak Kees. Ia dapat melihat kecocokan maupun perbedaan antara data yang dimiliki dengan prakiraan satu tahun pranata mangsa. Melalui pengujian tersebut, Karwita dapat menemukenali pranata mangsa yang selama ini menjadi pedomannya dalam bertani. Sebagai contoh, perbedaan gejala serta jumlah curah hujan kemudian dikaitkan sengan siklus windu yang memengaruhi paranata mangsa. Disisi lain, Karwita merasa ia seperti membuat pranata mangsanya sendiri berdasarkan data curah hujan serta pengamatan yang ia lakukan.

Simpulan

Berdasarkan narasi yang disampaikan Karwita mengenai pranata mangsa setelah mendapatkan pembelajaran agrometeorologi, ada dua hal yang patut digaris bawahi. Pertama, Warung Ilmiah Lapangan berhasil membuat petani sadar akan perubahan iklim yang memengaruhi individu maupun kolektif. Kedua, pengetahuan petani akan perubahan iklim menjadi pemicu bagi petani untuk menguji, memahami, serta menemukenali pedoman yang selama ini digunakan, yakni pranata mangsa. Oleh karenanya, dapat saya katakan bahw a pembelajaran agrometeorologi melalui Warung Ilmiah Lapangan telah memperkaya pengetahuan lokal yang dimiliki petani, yakni paranata mangsa.

Hasil Panen Musim Gaduh 2015 di Indramayu

Hasil Panen Musim Gaduh 2015 di Indramayu

Hasil Panen Musim Gaduh 2015 di Indramayu

Musim gaduh 2015 mungkin adalah yang paling kering dari yang pernah dialami para petani, khususnya di Indramayu, setelah kekeringan parah pada 1997-1998. Kekeringan yang dimulai sejak bulan Mei, sampai dengan tulisan ini dibuat belum juga menurun, bahkan berdasarkan skenario musiman, yang dikirim oleh Prof Kees Stigter, El-Niño yang terjadi pada 2015 adalah El-Niño kuat yang baru akan melemah perlahan pada bulan Februari atau Maret 2016, meski harapan kita adalah El-Niño segera melemah dan musim hujan mulai pada Desember 2015.

Kekeringan panjang yang tidak diantisipasi dengan baik akan membawa dampak yang serius, seperti gagal panen. Kondisi ini diamati oleh para petani yang tergabung dalam Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu (KPCHI) yang melaporkan bahwa hujan tidak pernah turun di Indramayu sejak Agustus 2015, berdasarkan pengamatan mereka di lahan masing-masing.  Di Zona 3 (zona irigasi) di Indramayu banyak petani yang mengalami gagal panen. Akan tetapi, ada juga petani Indramayu, dari Zona 3 atau Zona lain yang memiliki hasil panen yang bagus, bahkan meningkat dibandingkan dengan musim rendeng 2014, hal ini  disebabkan hama pada musim gaduh 2015 ini menurun secara signifikan akibat kelembaban yang menurun. Sehingga, asalkan sawah mendapat suplai air yang cukup, hasil panen akan tetap bagus. Kita akan melihat secara garis besar hasil panen dari zona Timur Utara dan Timur Selatan, setelah itu kita akan melihat cara petani KPCH melakukan antisipasi kekeringan panjang di lahannya.

Zona Timur Utara, Pak Nurkilah bersyukur masih bisa panen sebanyak 3 ton/ha. Meski mengalami kesulitan karena kekeringan dan hanya mengandalkan air sisa. Sementara itu pak Karsinah yang pada musim gaduh 2014 mendapat 6 ton/ha, di musim gaduh 2015 mendapat 5 ton/ha, juga karena kurangnya suplai air dari sumber lain, beliau hanya mengandalkan bor pantek. Lain cerita dengan pak Suyanto yang sawahnya kebagian irigasi teknis, sehingga hasilnya mencapai 6 ton/ha. Di sisi lain, ada juga petani dari Zona ini yang mengalami gagal panen, yakni pak Condra.

Zona Timur Selatan, Pak Tarlam mengalami peningkatan dari musim gaduh 2014, sebanyak 7 Ton, pada tahun 2015 menjadi 9 ton/ha. Hal ini disebabkan pak Tarlam kebagian irigasi teknis. Pak Karwita sedikit ada penurunan dari 5,8 ton/ha menjadi 5,6 ton/ha, sekarang pak Karwita sedang menanam bayam untuk dijadikan bibit kembali, dan kacang hijau. Beliau memilih menanam tanaman ini karena ketahanannya terhadap kekeringan dan panas dan harga jual yang tinggi. Ada satu lagi dari zona ini, yakni pak H. Darsono yang mendapat 12,5 ton/ha. Paling tinggi diantara rekan-rekan lain. hal ini disebabkan karena tidak ada hama penyakit dan cukupnya suplai air yang didapatkan dari Situ Bolang. dan bisa mengatur air keluar masuk. Varietas padi yang dipakai adalah Ciherang dan Bandul Besi, yang merupakan varietas padi lokal. Ciherang Bandul Besi menghasilkan lebih banyak ketimbang Ciherang.

Pak Condra, dari desa Tegal Sembadra mengalami gagal panen karena kekeringan parah dan tidak ada sumber air yang mencukupi kebutuhan untuk lahannya. Keputusan untuk tetap menanam padi dilakukannya karena mengikuti tetangga-tetangganya, sehingga suka tidak suka, pak Condra mengikuti kesepakatan tidak tertulis tersebut. Kata beliau menanam padi adalah suatu kewajiban yang “dari sananya sudah begitu,” dan merasa aneh apabila dirinya sendiri yang tidak menanam.

Lain lagi dengan Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Indramayu. Di desa ini sudah dibentuk Klub Satelit, ini berarti ada banyak petani pengukur curah hujan yang bergabung dalam KPCH dan untuk memfasilitasi mereka agar mudah berkoordinasi dan mengembangkan pembelajaran maka dibentuklah Klub Satelit di desa Nunuk agar  lokasi pembelajaran lebih dekat. Melalui Klub Satelit dan kebetulan Kuwu (kepala pemerintahan) desa Nunuk juga, sebelum menempati jabatannya, telah bergabung dengan KPCH, menginisiasi pertemuan desa yang membahas masalah kekeringan di desa mereka. Maka dibuatlah keputusan bersama untuk menanam lebih cepat, memastikan ketersediaan sumber air, dan memilih varietas yang umur pendek, agar bisa panen. Keputusan yang mampu diambil oleh para petani di Nunuk merupakan hasil pembelajaran pengukuran curah hujan dan agroekosistem yang sudah mereka mulai sejak 2009. Pengambilan keputusan ini dinilai sangat penting bagi petani yang terus belajar dari musim ke musim dan mencari solusi terbaik diantara hasil panen yang bagus dan berkualitas, lingkungan yang terjaga, dan keseimbangan ekosistem, serta kesejahteraan petani.

Iklim yang berubah, yang salah satunya ditandai dengan meningkatnya kejadian cuaca ekstrim, sangat sukar ditebak dan karenanya sangat penting untuk mendukung dan melindungi petani yang memproduksi makanan kita sehari-hari, salah satunya seperti contoh dari desa Nunuk. Petani terus belajar tentang lingkungannya dan didukung oleh pemerintah. Kalaupun gagal panen, petani sangat berharap ada asuransi yang disediakan pemerintah agar petani tidak merugi.