Pranata Mangsa dan Petani: Pengetahuan Lokal Petani dalam Perubahan Iklim

Pranata mangsa merupakan kosmologi lokal yang dimiliki dan digunakan oleh petani di Jawa sebagai panduan dalam bercocok tanam. Terdapat beberapa aliran pranata mangsa, diantaranya klasifikasi alam berdasarkan tahun Islam, klasifikasi berdasarkan tahun Jawa, dan Aboge (Alip rebo wage). Pembagian tahun dalam pranata mangsa, berbeda dengan tahun republik (tahun masehi). Pada pranata mangsa yang dimiliki oleh Karwita, satu tahun dibagi kedalam 12 mangsa. Setiap mangsa, memiliki keterangan sifat mangsa berdasarkan gejala alam, hingga pedoman kegiatan petani dalam mangsa tersebut. Hampir seluruh kegiatan bercocok tanam para petani didasari oleh pengetahuan mengenai pranata mangsa. Sebut saja penentuan waktu menyemai, mengolah tanah, hingga penanaman kembali (nandur). Tidak hanya menjadi pedoman kegiatan bertani, pranata mangsa juga digunakan petani untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari seperti membangun rumah, hingga pemilihan hari baik untuk waktu bepergian.

“Menguji” Pranata Mangsa

Karwita, merupakan petani pengukur curah hujan di Desa Amis yang telah mengalami pembelajaran agrometerologi selama 5 tahun melalui Warung Ilmiah Lapangan (WIL). Melalui warung ilmiah lapangan, petani dianggap sebagai ilmuwan yang meneliti sawah garapannya sendiri melalui pengamatan hingga pengukuran curah yang dilakukan setiap hari. Kegiatan pembelajaran agrometeorologi yang dilakukan oleh Karwita adalah sebuah langkah untuk memperkaya pengetahuan petani dalam memahami perubahan iklim. Hal ini dikarenakan, perubahan iklim serta berbagai konsekuensinya merupakan hal yang berada diluar ranah pengetahuan petani.

Sejak menjadi petani, berbagai kegiatan bercocok tanam yang dilakukan Karwita didasari oleh pengetahuannya mengenai pranata mangsa. Namun, beberapa tahun belakangan pranata mangsa yang menjadi pedoman, seringkali ia anggap “meleset”. Ada ketidakcocokan antara gejala alam pada mangsa dengan realita dilapangan. Pada suatu malam, Karwita menjelaskan kepada saya contoh ketidakcocokan dalam pranata mangsa. Ia mengatakan bahwa tahun ini merupakan tahun Hé dalam primbon pranata mangsa. Tahun yang memiliki simbol kelabang ini memiliki 70 hari hujan (sebagaimana yang tertera dalam buku primbon pranata mangsa Karwita). Namun, jika ia bandingkan dengan dokumentasi pengukuran yang dilakukannya hingga bulan Agustus, jumlah hari hujan bahkan jauh dari angka 70.

Pengumpulan data curah hujan yang dilakukan oleh Karwita telah membuat dirinya mampu untuk menguji pengetahuan pranata mangsa yang dimiliki melalui dokumentasi curah hujan dan skenario musiman yang diberikan oleh Pak Kees. Ia dapat melihat kecocokan maupun perbedaan antara data yang dimiliki dengan prakiraan satu tahun pranata mangsa. Melalui pengujian tersebut, Karwita dapat menemukenali pranata mangsa yang selama ini menjadi pedomannya dalam bertani. Sebagai contoh, perbedaan gejala serta jumlah curah hujan kemudian dikaitkan sengan siklus windu yang memengaruhi paranata mangsa. Disisi lain, Karwita merasa ia seperti membuat pranata mangsanya sendiri berdasarkan data curah hujan serta pengamatan yang ia lakukan.

Simpulan

Berdasarkan narasi yang disampaikan Karwita mengenai pranata mangsa setelah mendapatkan pembelajaran agrometeorologi, ada dua hal yang patut digaris bawahi. Pertama, Warung Ilmiah Lapangan berhasil membuat petani sadar akan perubahan iklim yang memengaruhi individu maupun kolektif. Kedua, pengetahuan petani akan perubahan iklim menjadi pemicu bagi petani untuk menguji, memahami, serta menemukenali pedoman yang selama ini digunakan, yakni pranata mangsa. Oleh karenanya, dapat saya katakan bahw a pembelajaran agrometeorologi melalui Warung Ilmiah Lapangan telah memperkaya pengetahuan lokal yang dimiliki petani, yakni paranata mangsa.