Hasil Panen Musim Gaduh 2015 di Indramayu

Musim gaduh 2015 mungkin adalah yang paling kering dari yang pernah dialami para petani, khususnya di Indramayu, setelah kekeringan parah pada 1997-1998. Kekeringan yang dimulai sejak bulan Mei, sampai dengan tulisan ini dibuat belum juga menurun, bahkan berdasarkan skenario musiman, yang dikirim oleh Prof Kees Stigter, El-Niño yang terjadi pada 2015 adalah El-Niño kuat yang baru akan melemah perlahan pada bulan Februari atau Maret 2016, meski harapan kita adalah El-Niño segera melemah dan musim hujan mulai pada Desember 2015.

Kekeringan panjang yang tidak diantisipasi dengan baik akan membawa dampak yang serius, seperti gagal panen. Kondisi ini diamati oleh para petani yang tergabung dalam Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu (KPCHI) yang melaporkan bahwa hujan tidak pernah turun di Indramayu sejak Agustus 2015, berdasarkan pengamatan mereka di lahan masing-masing.  Di Zona 3 (zona irigasi) di Indramayu banyak petani yang mengalami gagal panen. Akan tetapi, ada juga petani Indramayu, dari Zona 3 atau Zona lain yang memiliki hasil panen yang bagus, bahkan meningkat dibandingkan dengan musim rendeng 2014, hal ini  disebabkan hama pada musim gaduh 2015 ini menurun secara signifikan akibat kelembaban yang menurun. Sehingga, asalkan sawah mendapat suplai air yang cukup, hasil panen akan tetap bagus. Kita akan melihat secara garis besar hasil panen dari zona Timur Utara dan Timur Selatan, setelah itu kita akan melihat cara petani KPCH melakukan antisipasi kekeringan panjang di lahannya.

Zona Timur Utara, Pak Nurkilah bersyukur masih bisa panen sebanyak 3 ton/ha. Meski mengalami kesulitan karena kekeringan dan hanya mengandalkan air sisa. Sementara itu pak Karsinah yang pada musim gaduh 2014 mendapat 6 ton/ha, di musim gaduh 2015 mendapat 5 ton/ha, juga karena kurangnya suplai air dari sumber lain, beliau hanya mengandalkan bor pantek. Lain cerita dengan pak Suyanto yang sawahnya kebagian irigasi teknis, sehingga hasilnya mencapai 6 ton/ha. Di sisi lain, ada juga petani dari Zona ini yang mengalami gagal panen, yakni pak Condra.

Zona Timur Selatan, Pak Tarlam mengalami peningkatan dari musim gaduh 2014, sebanyak 7 Ton, pada tahun 2015 menjadi 9 ton/ha. Hal ini disebabkan pak Tarlam kebagian irigasi teknis. Pak Karwita sedikit ada penurunan dari 5,8 ton/ha menjadi 5,6 ton/ha, sekarang pak Karwita sedang menanam bayam untuk dijadikan bibit kembali, dan kacang hijau. Beliau memilih menanam tanaman ini karena ketahanannya terhadap kekeringan dan panas dan harga jual yang tinggi. Ada satu lagi dari zona ini, yakni pak H. Darsono yang mendapat 12,5 ton/ha. Paling tinggi diantara rekan-rekan lain. hal ini disebabkan karena tidak ada hama penyakit dan cukupnya suplai air yang didapatkan dari Situ Bolang. dan bisa mengatur air keluar masuk. Varietas padi yang dipakai adalah Ciherang dan Bandul Besi, yang merupakan varietas padi lokal. Ciherang Bandul Besi menghasilkan lebih banyak ketimbang Ciherang.

Pak Condra, dari desa Tegal Sembadra mengalami gagal panen karena kekeringan parah dan tidak ada sumber air yang mencukupi kebutuhan untuk lahannya. Keputusan untuk tetap menanam padi dilakukannya karena mengikuti tetangga-tetangganya, sehingga suka tidak suka, pak Condra mengikuti kesepakatan tidak tertulis tersebut. Kata beliau menanam padi adalah suatu kewajiban yang “dari sananya sudah begitu,” dan merasa aneh apabila dirinya sendiri yang tidak menanam.

Lain lagi dengan Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Indramayu. Di desa ini sudah dibentuk Klub Satelit, ini berarti ada banyak petani pengukur curah hujan yang bergabung dalam KPCH dan untuk memfasilitasi mereka agar mudah berkoordinasi dan mengembangkan pembelajaran maka dibentuklah Klub Satelit di desa Nunuk agar  lokasi pembelajaran lebih dekat. Melalui Klub Satelit dan kebetulan Kuwu (kepala pemerintahan) desa Nunuk juga, sebelum menempati jabatannya, telah bergabung dengan KPCH, menginisiasi pertemuan desa yang membahas masalah kekeringan di desa mereka. Maka dibuatlah keputusan bersama untuk menanam lebih cepat, memastikan ketersediaan sumber air, dan memilih varietas yang umur pendek, agar bisa panen. Keputusan yang mampu diambil oleh para petani di Nunuk merupakan hasil pembelajaran pengukuran curah hujan dan agroekosistem yang sudah mereka mulai sejak 2009. Pengambilan keputusan ini dinilai sangat penting bagi petani yang terus belajar dari musim ke musim dan mencari solusi terbaik diantara hasil panen yang bagus dan berkualitas, lingkungan yang terjaga, dan keseimbangan ekosistem, serta kesejahteraan petani.

Iklim yang berubah, yang salah satunya ditandai dengan meningkatnya kejadian cuaca ekstrim, sangat sukar ditebak dan karenanya sangat penting untuk mendukung dan melindungi petani yang memproduksi makanan kita sehari-hari, salah satunya seperti contoh dari desa Nunuk. Petani terus belajar tentang lingkungannya dan didukung oleh pemerintah. Kalaupun gagal panen, petani sangat berharap ada asuransi yang disediakan pemerintah agar petani tidak merugi.